Sabtu, 08 Oktober 2011

Elegi Seorang Pengajar (2-Part 2)

Setelah mengetahui kalau si Kumbang merokok, saya berniat memancingnya supaya mengaku sendiri pada saya. Supaya lebih ikhlas tentunya.


Esoknya saya masuk kelas dengan muka santai, “Gimana pengecekan lemari kemarin? Ada yang terambil kaosnya, HPnya, laptopnya, atau kulkasnya mungkin?”, tanya saya sambil bercanda yang langsung disambut dengan keributan saling lempar-melempar ejekan ke temannya. “Ade ketahuan laptop ustadz”, kata yang satu. “Ngga ustadz, Julian yang bawa kulkas”, balasnya yang langsung disambung dengan koor tertawaan dari teman sekelas yang lain. “Sudah”, saya menengahi, “Ustadz dapat laporan dari beberapa orang ustadz, bahwa diantara antum ada yang ketahuan punya HP, rokok, kamera, dan alat elektronik lain”, sambung saya dengan wajah serius(sebenarnya laporan yang saya dapat hanya rokok, tapi untuk memancing saya sebutkan saja beberapa alat elektronik). “Isma’uu, dengarkan. Jadi sebelum ustadz bongkar, yang kemarin merasa ketahuan, silahkan antum mengaku ke ustadz sebelum besok. Ustadz tunggu di kamar ustadz. Kalau ngga mengaku, berarti siap untuk ustadz permasalahkan”, ancam saya. Satu kelas pun sunyi tanpa suara mendengar ancama saya.



Tapi sayang, ternyata ancaman saya belum cukup mengerikan. Sampai esok harinya saya masuk ke kelas itu lagi belum ada yang mengaku. Karena ini dan ditambah lagi mereka tidak mengumpulkan PR, emosi saya memuncak. Saya masuk ke kelas dengan wajah serius, tanpa senyum.

“Assalamu’alaikum”, ucap saya di depan kelas. “Qumu jami’an, berdiri semua. Sekarang yang belum mengumpulkan PR, taqoddamu, maju ke depan”, perintah saya. 12 orang maju ke depan. “Yang belum selesai mengerjakan sekarang berdiri di baris pertama, yang sudah selesai tapi belum mengumpulkan, berdiri di belakangnya”, perintah saya lagi. 10 orang maju, dan 2 orang mundur. “Isma’u. Ustadz terakhir kali marah itu ketika ustadz jadi mudabbir ,tapi sekarng ustadz bukan mudabbir lagi. Ustadz ga mau marah-marah”, sambung saya. Kelas menjadi hening. “Kemarin ustadz bilang apa? Yang merasa ketahuan lapor ke ustadz. Tapi tidak ada yang datang”, saya mengambil absent dan mencari nama Kumbang, Sayang, rencana saya mau langsung saya tembak malah terhenti karena si Kumbang tidak masuk kelas karena piket. “Kharis, kamu tahu siapa yang merokok kan?”, tembak saya. “N…Na’am ustadz, iya ustadz”, jawabnya. “Bilang sama dia, kalau ngga mau panjang urusannya lapor ke ustadz secepatnya”, ancam saya. “Antum ijlisu jami’an, duduk semuanya”, perintah saya. Sisa waktu saya habiskan duduk saja tanpa menambah pelajaran karena kesalnya saya. Di tengah-tengah masa yang tegang itulah, tiba-tiba HP saya meraung dengan sekeras-kerasnya dengan bunyi aneh yang kedengaran lucu. Panik, saya langsung mengeluarkan hp dari saku saya sambil melihat nama yang tertera disitu. Ai, Calling… Mau tidak mau saya berlari keluar sambil diiringi derail tawa anak-anak. “Ai, bentar ya, ni lagi ngajar nih”, jawab saya ketika mengangkat telepon. Saya masuk kelas sambiltersenyum-senyum sendiri karena yang menelpon dia, soalnya jarang-jarang dia menelpon saya. Tak disangka, saya lupa kalau tadi sedang suasana serius, anak-anak yang melihat saya tersenyum-senyum sendiri langsung serempak tertawa mencemooh gurunya. “Afwan, maaf, tadi itu teman ustadz”, kata saya sambil menahan malu. Akhirnya kelas berakhir dengan suasana ceria. Happy Ending.





***


Di kamar, saya sibuk memikirkan akan saya apakan si Kumbang. Saya sempat berpikiran akan menyuruhnya merokok langsung satu kotak, atau makan satu kotak rokok, dan hukuman-hukuman berat lainnya. Sampai ketika saya ingat masa lalu saya.


***


Dulu ketika masih kelas 2 SMP, saya belajar merokok dari teman saya. Akhirnya kebiasaan merokok itu terbawa terus sampai saya masuk pondok. Ketika di pondok saya sering merokok ketika setelah makan di jemuran ataupun di kamar mandi. Tidak pernah ketahuan sampai saya berhenti merokok pada liburan tahun 2009. Itu menjadi rahasia saya yang tidak banyak orang ketahui.


Seolah ingin membuktikan kalimat Al-Waladu Sirru Abihi, sekarang saya mempunyai 32 anak, dan ternyata dari 32 anak itulah yang akhirnya menunjukkan rahasia saya selama ini. Rahasia bahwa saya pernah merokok di pondok, akhirnya ditunjukkan oleh Kumbang.


***


Setelah maghrib, saya sedang membaca Al-Qur’an di depan kamar. Tiba-tiba datang seorang anak dari arah belakang saya mengucapkan salam,
”Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam. Loh Kumbang? Limaza? Kenapa?”, tanya saya.
“Mau lapor ustadz”
“Lapor apa Kumbang?”, tanya saya saya pura-pura tidak tahu.
“Em… masalah kemarin ustadz”, jawabnya segan.
“Yang mana Kumbang?”, tanya saya lagi.
“Ana… ana merokok ustadz”, jawabnya sambil menunduk
“Ya… Ijlis Kumbang, duduk”, perintah saya sambil tersenyum lembut.
“Dari kapan kamu merokok, Kumbang?”, tanya saya lagi.
“Dari kelas 2 SD ustadz, diajarin sama teman”
“Dulu ustadz juga perokok, Kumbang, bahkan sampai ke pondok. Tapi ustadz berhenti”
“Kamu masih kecil Kumbang, masa depan kamu masih panjang”, lanjut saya.
“Kamu mau berhenti merokok Kumbang?”, tanya saya.
“Iya ustadz, ana mau berhenti merokok”
“Ya sudah,, ini berarti terakhir kali kamu merokok ya. Jangan pernah ngulangi lagi. Janji sama ustadz ya?”


“Iya ustadz, ana janji”, jawabnya.
Itulah akhirnya, saya tidak jadi menghukum Kumbang, karena saya melihat seolah ada sebagian dari saya yang terpendam pada anak itu. Perlahan, saya melihatnya berlari pergi, melihat diri saya dulu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar